Pages

Kamis, 16 Februari 2017

SI KUMEL YANG TERTINGGAL

google.com

“Semuanya siap-siap mi untuk pulang”, teriak ibu perpus dari ruang shalat. Mendengar teriakan itu tak lantas membuat kami buru-buru bergerak untuk membereskan barang-barang kami yang berserahkan di atas meja baca. Karena kami tahu masih ada kegiatan rutin yang pasti akan dilakukan ibu perpus sebelum beranjak dari kursi kerjanya. Beliau masih akan mempoles wajahnya dengan sedikit riasan agar terlihat segar ketika bertemu sang suami di parkiran.
Ibu perpus kembali berteriak mengingatkan kami setelah selesai melakukan kegiatan kecilnya. Aku pun berbalik menatap jam dinding yang tergantung manis di salah satu sudut ruangan. Jarum jam sudah menunjukkan jam 16.10. Sudah waktunya perpustakaan tutup. Dengan tergesa-gesa aku memasukkan semua barangku yang masih tergeletak manis di atas meja baca ke dalam tas.
Aku dan ibu perpus berjalan beriringan ke parkiran sambil berbagi cerita yang sederhana dari kehidupupan sederhana kami. Setelah sampai di parkiran ibu perpus mengucapkan salam perpisahan padaku dan akupun melanjutkan langkah kakiku menuju depan fakultas untuk menunggu pete-pete 07 yang akan membawaku pulang ke rumah. Dan oh betapa beruntungnya aku, di ujung jalan sana pete-pete 07 sudah terparkir manis, menunggku untuk segera menaikinya.
Sesampainya di depan pintu pete-pete aku terdiam sebentar, mencari target tempat duduk yang nyaman. Ketemu, aku memutuskan duduk di belakang supir yang berhadapan langsung dengan pintu pete-pete. Aku memilih duduk di posisi itu agar tidurku nyaman sepanjang perjalanan. Aku yakin pasti nyaman karena angin yang bertiup dari luar langsung menyapaku melalui pintu pete-pete.
Sepanjang perjalanan aku sibuk memperhatikan kegiatan yang dilakukan oleh beberapa penumpang yang berada di dalam pete-pete sambil sesekali memperhatikan keadaan lalu lintas di luar. Seorang penumpang yang duduk di samping pintu sibuk memperhatikan layar Hp yang berada di genggaman tangannya sambil sesekali cekikikan, mungkin dia sedang  membalas chat dari pacar atau mungkin gebetannya, entahlah dia sedang membalas chat dari siapa, biarkan dia, Tuhan dan si penerima chat yang tau dengan siapa sebenarnya dia berbalas chat. Ku alihkan pandanganku ke sudut belakang pete-pete. Aku menemukan seorang perempuan yang juga seorang mahasiswi sepertiku jika di lihat dari tas ransel dan beberapa buku-buku tebal yang berada di pangkuannya, dia sedang terlelap. Mungkin kelelahan akibat tugas-tugas kuliah yang menumpuk.
Puas memperhatikan keadaan di dalam pete-pete, akupun  memustuskan untuk ikut terlelap seperti perempuan yang berada di sudut belakang. Aku mengatur posisi dudukku senyaman mungkin, menyandarkan kepala di jendela, memeluk tas dengan erat dan mulai memejamkan mata.
Sebelum sampai di tempat tujuan aku terbangun. Aku kembali mengedarkan pandanganku ke sekeliling pete-pete. Beberapa penumpang sudah turun dan mahasiswi yang terlelap tadi pun sudah tak ada lagi di tempat duduknya. Aku merogoh tasku mencari tempat pensil yang sudah berubah fungsi menjadi tempat segalanya. Tidak hanya menyimpan pensil atau pulpen, tempat pensil itu juga sudah merangkap menjadi dompet. Bukannya malas memakai dompet hanya saja aku malas mengeluarkan uang lebih untuk membeli benda seperti itu,
Setelah mengubek-ngubek isi tas sampai ke segala sisi bahkan sampai mengeluarkan sebagian isinya, aku tak juga menemukan tempat pensilku. Aku mulai panik, pikiran negatif pun melintas di kepalaku. Aku menggeleng keras menyingkirkan pikiran itu. “Mana mungkin ada orang yang mau mengambil tempat pensil kumel seperti itu? untuk memiliki niat pun pasti tak ada yang mau apa lagi sampai mengambil!”, pikirku. Aku kembali mengubek isi tas mencari ponsel untuk menelpon tanteku. Aku menelpon beberapa kali dan telponku tak juga diangkat. Aku kembali berpikir dimana terakhir kali aku menyimpan tempat pensil kumel itu. setelah berpikir cukup keras aku menemukan jawabannya. Yah benar tempat pensilku pasti tertinggal di atas meja baca, pasti, aku yakin itu.
Tempat tujuanku sudah dekat, keringat dingin sudah mulai mengalir di pelipisku, badanku gemetar, aku bingung harus bilang apa kepada sang supir ketika turun. Dengan pelan aku berkata “kiri”. Sang supir menghentikan laju pete-petenya. Aku melangkahkan kakiku turun dari pete-pete menuju pintu depan pete-pete. Aku menatap sang supir dengan takut-takut sambil berkata, “Maaf pak tertinggal ki dompetku”. Sang supir hanya menatapku. Seorang gadis yang juga turun di tempat yang sama denganku menyerah kan uang Rp 10.000 kepada sang supir. “Nanti saya yang bayarkan pak”, kata gadis itu. Sebelum aku mengucapkan terima kasih, gadis itu sudah hilang di balik pintu pete-pete yang lain.
Pete-pete yang ditumpangi gadis itu melintas di depanku. Aku menatap gadis itu sambil melemparkan senyum dan mengucapkan kata terima kasih tanpa suara kepadanya dan dia balas tersenyem kepadaku. Sungguh senyumannya begitu manis dan tulus. Dia adalah seorang malaikat penolongku.


Sabtu, 31 Desember 2016

AKU? TIDAK MUNGKIN!



Sepertinya sang matahari sedang berbahagia pada hari  itu. Bersinar terang seakan telah mendengar kabar yang sangat membahagiakan tanpa peduli dengan penduduk bumi yang sibuk mengutuk padanya yang telah seenaknya membuat mereka kegerahan sepanjang hari. Tidak terkecuali aku, tapi tunggu, bukan sinar matahari yang membuatku kegerahan di siang itu.
Aku sibuk memandang lembaran kertas pink dan biru di tanganku. Bertanya untuk apa dua lembaran kertas berwarna itu dibagikan kepada kami? Aku pun mengangguk paham setelah mendengar instruksi tentang apa yang akan kami lakukan pada kedua kertas tersebut. Untuk lembaran kertas pertama, kami diperintahkan untuk menuliskan kata “NAMA SAYA” di bagian pojok atas dan menuliskan nama masing-masing di bagian tengah. Setelah selesai menuliskan nama masing-masing, kertas tersebut digeser ke teman yang berada di sebelah kanan dan harus menuliskan ciri-ciri dari mereka yang namanya tertulis pada kertas yang ada di genggamannya.
Permainan “MARI MENULISKAN CIRI-CIRI TEMAN” hanyalah sebuah pengantar untuk memasuki permainan sesungguhnya di hari itu. Permaianan sesungguhnya adalah “MARI MEMILIH KOORDINATOR”. Permaianan yang cukup gampang jika dilihat dari namanya. Tapi percayalah ini tidak segampang namanya. Permaianan ini memerlukan cukup pengetahuan tentang kepribadian teman-teman yang ikut dalam pemilihan agar setiap kegiatan memiliki koordinator yang tepat.
Dengan penuh semangat, aku mulai menuliskan nama-nama mereka di masing-masing kegiatan. Aku menuliskannya secara acak. Toh mereka juga tidak akan tau siapa yang menuliskan nama mereka di kertas masa depan itu, pikirku. Pemilihan pun telah berakhir. Kak Indi dan Kak Athifah sudah siap di depan untuk membacakan dan menuliskan hasil pemilihan koordinator. Pembacaan hasil suara untuk koordinator kegiatan pertama yakni kegiatan NBS pun di mulai.
Aku dan kak Ica memperoleh suara yang seimbang. Dan semua orang di dalam ruangan itu menyebutkan nama ku dengan kompak seakan mereka sudah mempersiapkannya dalam jangka waktu yang cukup lama.
“Yah, kenapa saya? Kenapa bukan kak Ica saja?”.
“kalau saya lagi, nda akan ada mi itu kemajuan”. Balas kak Ica dengan santainya sambil mengedarkan pandangannya kesekeliling ruangan.
Aku mendesah, mengalah untuk melanjutkan tindakan protes ku yang aku tau akan berujung sia-sia. Marah, yah aku marah pada mereka yang seenaknya menuliskan nama ku , tapi aku tidak berhak untuk marah. Itu adalah hak mereka untuk memilih.
Bagaimana menjadi seorang koordinator? Apa yang harus aku lakukanan nantinya? Pertanyaan-pertanyaan seputar menjadi koordinator berkecamuk di dalam kepalaku. Seperti lorong panjang gelap yang tidak memiliki ujung.  Aku bingung harus melakukan apa nantinya.
"Ayolah, berhenti memikirkan hal itu! Kamu akan tahu harus melakukan apa nantinya seiring berjalannya waktu", aku mencoba mengatakan hal itu pada diriku sendiri. Sayangnya cara ini tidak cukup berhasil untuk menenangkanku. Aku masih sibuk memikirkan hal itu. Bagaimana tidak terus-terus memikirkan hal itu, ini kali pertamanya aku dipilih sebagai koordinator kegiatan. Sebelum-sebelumnya aku sudah cukup puas hanya menjadi seorang anggota.
Pembacaan suara untuk kegiatan-kegiatan berikutnya pun kembali dibacakan. Mereka yang terpilih menunjukkan sikap yang tidak jauh berbeda dengan ku dan mereka yang tidak terpilih bersorak gembira seakan-akan telah memenangkan lotre milyaran. Aku memandang iri kepada mereka yang tidak terpilih. Betapa beruntungnya mereka saat itu.
Inilah ole-ole yang aku bawa pulang dari rapat tahunan 2016 yang kami adakan pada tanggal 24 Desember 2016 di kantor BaKTI. Dan seharusnya aku berbangga diri karena banyak yang percaya pada ku untuk menjadi seorang koordinator untuk kegiatan NBS di tahun 2017. Tapi sungguh aku masih belum menerima hasil pemilihan ini dengan sepenuh hati. Aku butuh relawan pengganti dan yang berminat tolong menghubungi ku secepatnya. SECEPATNYA!